Tanggung Jawab Suami Itu Berat | Tapi Banyak Keberkahan
Apakah tanggung jawab suami itu berat? Mari kita ulas di tulisan ini. Agar kita belajar menjadi pribadi yang bisa dibanggakan oleh keluarga kita.
Dibanggakan di hadapan anak istri. Dibanggakan oleh masyarakat. Dan mendapat banyak pahala dari Allah Taala.
Tanggung jawab suami itu berat, maka pasti ada banyak hikmah di baliknya. Kita perlu mengambil perumpamaan dalam dunia kerja.
Jika Anda mengelola bank dengan jumlah uang Rp 100 miliar di dalamnya, maka tanggung jawab Anda lebih besar daripada Anda mengelola koperasi syariah yang jumlah simpanannya hanya Rp 1 miliar. Begitu seterusnya.
Karena tanggung jawabnya yang jauh lebih besar, maka gaji direktur bank memang jauh lebih besar dari lembaga pembiayaan (leasing) atau koperasi syariah. Demikian juga tanggung jawab suami.
Tanggung jawab suami itu berat, Allah Mahaadil
Karena tanggung jawab suami itu berat, maka Allah Taala menjanjikan banyak pahala dan kebaikan bagi suami yang menunaikan tanggung jawabnya dengan baik.
Karena Allah Mahaadil. Tak mungkin ada hambaNya yang menunaikan tanggung jawab lantas tidak mendapat imbalan.
Apa saja tanggung suami menurut agama Islam? Berikut ini sedikit ulasan tanggung jawab suami itu berat namun banyak peluang kebaikan di dalamnya.
Baca juga: Testimoni Ngaji Jodoh, Anak Punk Ikut Taaruf
Tanggung jawab suami itu berat, alasan pertama
Yang paling utama tanggung jawab seorang suami adalah menjaga diri sendiri dan menjaga keluarganya dari hukuman neraka.
Sejak di dunia, suami harus berusaha akad nikah agar dirinya dan istri-anaknya bertaqwa kepada Allah dan membenci perbuatan dosa.
Allah Taala berfirman, “Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaga malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim 6).
Suami bertanggung jawab atas pendidikan bagi istri dan anak-anaknya. Apakah selama ini suami sudah mendidik dirinya agar menjadi orang bertaqwa.
Dengan begitu, dia menjadi teladan dalam bertaqwa. Yaitu menjalankan segenap perintah Allah dan menjauhi larangan Allah.
Pelajaran dari Kisah Nabi Nuh
Ia bertanggung jawab jika terus-menerus mengajak keluarganya agar bertaqwa. Hingga akhir hayatnya, ia terus mengajak kepada taqwa. Selama masih ada nafas di badan, maka suami terus mengajak keluarganya kepada iman dan taqwa apapun hasilnya.
Kita bisa mengambil hikmah dari kisah Nabi Nuh. Ia terus mengajak anak dan kekuarganya untuk beriman dan naik bahtera. Salah satu anaknya menolak. Nabi Nuh terus memanggilnya sampai anak itu mati tenggelam dalam banjir.
Sebagai suami dan sebagai kepala rumah tangga, Nabi Nuh terus mengajak anaknya hingga ujung usia. Bagi kita, siapa dulu yang akan wafat apakah ayah atau anak-istri, tanggung jawab suami tetap mengajak kepada taqwa.
Tanggung jawab suami itu berat. Dia tak boleh berhenti mengajak dan mendidik keluarga kepada taqwa sampai ujung usia.
Jika suami diam saja atau tidak mau mengajak taqwa -meskipun anak istrinya enggan ikut- kelak dia akan dimintai tanggung jawab di akhirat.
Baca juga: Testimoni Ngaji Jodoh, Lulusan SMP & Lulusan Perguruan Tinggi
Sampai Kapan Tanggung Jawab Suami Terhadap Keluarga?
Setelah suami tutup usia, maka sudah selesailah tanggung jawabnya. Bahwa dia terus mengajak istri dan anaknya kepada taqwa. Karena hanya orang yang bertaqwa yang selamat dari neraka.
Allah berfirman, “Tiada seorangpun dari kamu melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi TuhanMu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Dan Kami menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa, dan membiarkan orang-orang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.” (QS. Maryam 71-72).
Alasan Kedua
Suami punya tanggung jawab memberi nafkah kepada anak dan istrinya. Allah berfirman, “Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” QS. An Nisa 34).
Nafkah itu meliputi makanan dan pakaian. “Dan kewajiban para ayah memberi makan dan pakaian para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan sesuai kadar kesanggupannya…” (QS. Al Baqarah 233).
Nabi saw pun memberi panduan kepada para suami, “Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan. Engkau beri pakaian apabila engkau berpakaian…” (HR. Abu Dawud).
Jangan sampai suami makan enak di luar sedangkan anak istrinya makan yang tidak seenak suaminya. Idealnya, apa yang dimakan keluarga, itulah yang dimakan oleh suaminya. Dalam kebersamaan dalam segala kondisi.
Baca juga: Testimoni taaruf, Pernah truma Batal Nikah Jelang Hari H
Tanggung jawab suami itu berat, alasan ketiga
Para suami punya tanggung jawab untuk mendidik istri dan anak-anaknya shalat dan selalu bersabar dalam proses mendidik itu.
Karena, shalat adalah ibadah yang pertama akan dihitung di akhirat kelak. Dan jika shalatnya baik, maka amalan lainnya dianggap baik. Begitu sebaliknya, jika shalatnya jelek, maka semua dianggap jelek (HR. Tirmidzi).
Allah berfirman, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya…” (QS. Thaha 132).
Inilah puncak tanggung jawab suami
Dan kesabaran mengajak shalat itu sepanjang hayat dikandung badan. Selama masih ada usia, tanggung jawab suami itu berat dan butuh kesabaran sampai ajal.
Jika ingin istri dan anaknya istiqamah shalat sampai akhir hayat, maka sang suami harus lebih dulu istiqomah. Sehingga keluarganya menirunya.
Suami harus menjadi teladan yang baik baik istri dan anak-anaknya, bahkan bagi pembantu dan pegawai di rumah itu.
Tanggung jawab berat, tapi keberkahan dan pahala juga banyak
Pahala yang diterima seseorang ditentukan oleh beberapa faktor. Dan suami akan mendapat banyak pahala dan keberkahan dari Allah yang tiada ternilai bentuk dan jumlahnya:
- Besarnya upaya sang hamba
Jika seorang hamba menunaikan haji harus menempuh 100 km menuju Tanah Suci, maka jauh lebih berpahala daripada yang menempuh hanya 20 km. Begitulah seterusnya.
Orang punya cacat tubuh namun masih shalat berjamaah ke masjid di awal waktu tentu mendapat pahala lebih banyak dibandingkan seseorang yang sehat tanpa kurang suatu apapun.
Kelelahan suami mencari nafkah menjadi pahala baginya. Nabi saw bersabda, “Akan tetapi, ganjaran (sebuah amalan) itu berdasarkan ukuran nafkahmu atau keletihanmu.” (HR. Bukhari 1787).
Jika punya anak lebih dari satu, tentu keletihannya lebih besar daripada yang hanya satu anak. Begitu seterusnya.
- Tingkat kesabaran seorang hamba
Allah berfirman, “Yang demikian itu ialah mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan, dan kelaparan di jalan Allah dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan orang kafir (dalam berjihad) dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh (dalam jihad) melainkan dituliskan bagi mereka dengan demikian itu suatu amal shalih…” (QS. At Taubah 120).
- Luasnya manfaat suatu amal
Jika kita mampu mendidik istri dan anak-anak dengan bertaqwa dan mereka meneruskan ketaqwaan itu kepada cucu kita, maka pahalanya terus-menerus mengalir kepada kita, bahkan ketika sudah wafat.
Nabi saw menjelaskan, “Jika manusia mati maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selalu mendoakannya.” (HR. Muslim).
- Mengundang pertolongan Allah
Nabi saw memberi kabar gembira, “Ada tiga orang yang berhak mendapat pertolongan Allah: yang berjihad di jalan Allah, orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya dan budak mukatab yang ingin membebaskan dirinya.” (HR. Tirmidzi, An Nasai, dan Ibnu Majah).
Baca juga: Testimoni taaruf, Cara Allah Mempertemukan Jodoh
Foto: pixabay