Haruskah Sekufu dalam Pernikahan? Ini Dalilnya

Haruskah Sekufu dalam Pernikahan Ini Dalilnya hati love

Haruskah Sekufu dalam Pernikahan? Ini Dalilnya. Karena konsep kufu’ atau kafā’ah dalam nikah, menjadi pembahasan cukup penting dalam ilmu fikih. Hal ini sering dibahas di kitab fikih berbagai mazhab.

Dalam buku bercorak fikih komparatif antarmadzhab karya Ibnu Rusyd (Bidāyatul Mujtahid, 2004, III: 42) misalnya, disebutkan bahwa yang disepakati di kalangan ulama bahwa kafā’ah (kesepadanan) yang diakui adalah dalam hal agama.

Hanya pendapat nyeleneh seperti Muhammad bin al-Hasan saja yang menggugurkan kesepadanan ini.

Haruskah Sekufu dalam Pernikahan? Ini Dalilnya Hadits dan Ayatnya

Sedangkan yang menjadi perbedaan di kalangan ulama mengenai kufu’ adalah dalam hal nasab/garis keturunan, budak-merdeka, kaya-miskin dan difabel-tidak.

Imam Malik dalam pandangan populernya, berpendapat boleh menikah dengan bekas budak. Ini dilandasi dengan surah Al-Hujurat [49] ayat 13 yang menggambarkan bahwa ukuran kemuliaan adalah takwa.

Sufyan Ats-Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh dinikahkan dengan bekas budak laki-laki.

Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat, wanita Qurays tidak boleh dinikahkan dengan selain Qurays, dan wanita Arab tidak boleh dinikahkan dengan laki-laki selain Arab. Namun, masih banyak perbedaan pendapat dalam masalah ini. Haruskah sekufu dalam pernikahan? Inilah dalilnya.

Di antara sebab yang memicu perbedaan pendapat adalah ketika memahami hadits berikut:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِدِينِهَا، وَجِمَالِهَا، وَمَالِهَا، وَحَسَبِهَا؛ فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَمِينُكَ

“Wanita dinikahi karena agama, kecantikan, harta dan keturunannya. Maka pilihlah wanita yang taat beragama, maka kamu akan beruntung” (HR. Bukhari, Muslim).

Dari hadits ini, ada yang memandang bahwa ukuran paling penting dalam hal kafā’ah (kesepadanan) adalah agama. Haruskah Sekufu dalam Pernikahan? Ini Dalilnya dalam hadits Nabi Muhammad saw.

Ada juga yang memasukkan aspek keturunan dan harta masuk dalam kategori tersebut. Adapun kecantikan, berdasarkan ijma (kesepakatan ulama) tidak masuk bagian kesepadanan yang dimaksud. (Baca juga: Menikah Tanpa Restu Ibu Mempelai Pria)

Ini Dalil Alqurannya       

Dalam buku Fiqhu as-Sunnah (1977, II: 143) disebutkan bahwa Ibnu Hazm berpendapat bahwa muslim manapun berhak menikahi muslimah mana pun selama bukan pezina.

Haruskah Sekufu dalam Pernikahan? Ini Dalilnya. Di antara dalilnya adalah Al-Hujurat ayat 10. Haruskah Sekufu dalam Pernikahan? Ini Dalilnya di dalam Al-Quran.

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itulah damaikanlah di antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al Hujurat 10).

Selama masuk dalam kategori mukmin, maka itu sudah sekufu/sepadan dan satu sama lain bisa menikah. Sebagai contoh, dulu Nabi pernah menikahkan dua sahabat yang berbeda status sosial.

Berikut Ini Sahabat Nabi Yang Bercerai Karena Tidak Sekufu

Yakni Zainab binti Jahsyin, wanita terpandang bangsa Qurays dinikahkan dengan Zaid bin Haritsah yang merupakan bekas budak yang dimerdekakan kemudian sudah dianggap anak sendiri oleh Nabi saw. Namun dalam perjalanannya, keduanya bercerai.

Nabi saw juga pernah menikahkan Miqdad dengan Dhiba’ah binti Zubair bin Abdul Muthalib. Haruskah Sekufu dalam Pernikahan? Ini Dalilnya menurut hadits Nabi saw.

Sayyid Sabiq juga mengemukakan pendapat banyak ulama yang menjadi standar kafa’ah (kesepadanan) adalah keistiqamahan dan akhlak.

Adapun kekayaan dan nasab tidak termasuk di dalamnya. Sehingga, orang shalih yang tak memiliki nasab terpandang bisa menikah dengan wanita yang punya nasab terhormat. (Baca juga: Perempuan menawarkan diri untuk dinikahi pria baik-baik)

Beda Kufu Tapi Bisa Harmonis, Apa Rahasianya?

Demikian juga orang yang profesi pekerjaannya kelas bawah, bisa menikah dengan wanita kelas elit.

Di antara acuannya adalah hadits Nabi berikut:

إِذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ خُلُقَهُ وَدِينَهُ فَزَوِّجُوهُ، إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ

“Apabila datang kepada kalian orang yang kalian ridhai agamanya dan akhlaknya maka nikahkanlah dia. Apabila kalian tidak melakukan hal itu, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar” (HR. Ibnu Majah).

Selain itu ada beberapa peristiwa sejarah yang menjadi penguat. Nabi pernah memerintahkan agar Abu Hind (seorang budak Bani Bayadh) dinikahkan dengan anak perempuan Bani Bayadh yang merdeka.

Sepeninggal Nabi, Huzaifah menikahkan Salim (seorang budak milik perempuan Anshar) dengan Hind binti Walid bin Utbah bin Rabi’ah.

Demikian juga, Bilal bin Rabbah menikah dengan saudara perempuan Abdurrahman bin Auf. Untuk lebih lanjut, bisa dibaca dalam buku Ibnu Qayyim berjudul Zādul Ma’ād. Haruskah Sekufu dalam Pernikahan? Ini Dalilnya.

Ali bin Abi Thalib ra. ketika ditanya tentang pernikahan terkait orang sekufu, ia menjawab, “Sebagian manusia adalah sekufu bagi sebagian yang lain. Tidak ada bedanya antara orang-orang Arab dan rang-orang Ajam (non-Arab), orang-orang Qurays dan orang-orang Bani Hasyim, apabila mereka beragama Islam dan beriman.”

Haruskah Sekufu dalam Pernikahan? Ini Dalilnya dan urutannya

Sebenarnya masih banyak pembahasan ulama mengenai kufu’ atau kafā’ah ini yang terangkum dalam enam kriteria:

Pertama, agama.

Kedua, nasab/garis keturunan

Ketiga, merdeka.

Keempat, harta.

Kelima, keterampilan.

Keenam, tidak cacat fisik.

Secara umum, agama menjadi kriteria kufu’ di urutan pertama. Haruskah Sekufu dalam Pernikahan? Ini Dalilnya yang disimpulkan para ulama dan sarjana muslim.

Katakanlah agama menjadi kesepakatan untuk kriteria nomor wahid. Pertanyaannya, apakah kita perlu mempertimbangkan lima hal lainnya dalam pernikahan sehingga terbina mahligai rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah?

Ini Bukti Kuat Bahwa Alquran Itu Bukan Buatan Nabi, Melainkan Murni Dari Allah

Penulis mengajak berkaca pada peristiwa pernikahan Zaid bin Haritsah dan Zainab binti Jahsyin (sepupu Nabi Muhammad SAW). Seperti disinggung tadi, secara nasab atau garis keturunan, kedua insan ini begitu jauh meski secara agama dan akhlak tidak ada masalah.

Pernikahan ini, menurut catatan Mahmud Al-Mashri dalam buku Aṣhābur Rasūl bertujuan meruntuhkan perbedaan kasta yang turun-temurun di kalangan masyarakat Arab kala itu.

Karena, kemuliaan manusia dalam pandangan Allah adalah ketakwaannya. Lebih lanjut Al Mashri menulis, “Rasulullah saw. ingin merealisasikan persamaan yang seutuhnya degan cara menikahkannya dengan seorang wanita mulia dari kalangan bangsawan keturunan Bani Hasyim.”

Sebenarnya sedari awal Zainab tidak suka dengan Zaid. Pernikahan itu sepenuhnya dilakukan karena atas perintah Nabi Muhammad saw.

Dalam catatan sejarah, pernikahan ini hanya berlangsung hampir satu tahun. Meskipun Nabi sudah menganjurkan Zaid untuk terus mempertahankan pernikahannya.

Namun masih sering terjadi percekcokan. Pernikahan pun menjadi hampa, dan keharmonisan pun terganggu.

Pernikahan ini akhirnya tak bisa dipertahankan. Takdir Allah berkata lain. Akhirnya Zainab bercerai dengan Zaid.

Namun kemudian justru Allah memberi perintah langsung kepada Nabi untuk menikahi Zainab setelah habis masa iddahnya.

Padahal sebelumnya Nabi sendiri yang menikahkan keduanya dan ikut mendamaikan keduanya. Namun, begitulah agama. Semua atas perintah Allah. Tak ada pilihan bagi seorang nabi kecuali hanya taat kepada Allah.

Ini bukti bahwa Alquran itu bukan maunya Nabi namun semua atas perintah Allah. Nabi saw harus tunduk pada perintah Allah.

Haruskah Sekufu dalam Pernikahan? Ini Dalilnya dalam Islam

Perintah kepada Nabi saw untuk menikahi Zainab diabadikan dalam Al-Qur’an.

“Maka ketika Zaid telah menyelesaikan urusannya dengan istrinya (menceraikan), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan di antara orang mukmin untuk (menikahi wanita) mantan istri dari anak-anak angkat mereka apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan urusannya (telah bercerai) dengan para istrinya itu” (QS. Al Ahzab 37).

Selanjutnya, Zaid menemukan jodohnya yaitu Ummu Aiman (nama aslinya Barakah al-Habasyiyah), wanita yang pernah mengasuh Rasulullah pasca wafatnya ibu beliau.

Secara kufu Ummu Aiman tidak jauh beda dari Zaid bin Haritsah yang juga bekas budak. Kelak dari pernikahan ini lahir anak istimewa bernama Usamah bin Zaid yang sangat disayangi oleh Rasulullah.

Bahkan sebelum Nabi wafat, Usamah yang masih 19 tahun kemudian diangkat oleh Rasulullah untuk memimpin pasukan para senior menuju Syam, untuk melawan Bizantium Romawi Timur.

Sepeninggal Nabi, wasiat itu dilaksanakan dan Usamah benar-benar menjadi panglima termuda kala itu. Peristiwa ini memberi pembelajaran yang berharga mengenai kufu’ atau kafā’ah bahwa agama dan akhlak memang menjadi nomor satu. Haruskah Sekufu dalam Pernikahan? Ini Dalilnya dalam kehidupan sahabat Nabi saw. (Baca juga: Syarat Taaruf yang harus diketahui)

Tidak Sekufu Tapi Bisa Harmonis, Ini Resepnya

Hanya, saja kriteria lain juga perlu dipertimbangkan sebelum menikah. Sebab, perbedaan yang terlalu tajam mengenainya, maka akan menimbulkan masalah di kemudian hari sebab terlalu tajam atau timpang perbedaan akan susah menemukan titik frekuensi antara pasangan.

Padahal dalam rumah tangga membutuhkan keharmonisan dan kebersamaan.

Kecuali, masing-masing dari awal sudah komitmen dan berusaha menerima dengan legawa kekurangan masing-masing, maka mudah-mudahan akan terjalin juga keluarga yang harmonis.

Seperti harmonisnya pernikahan putri Said bin Musayyib (ulama terkemuka) dengan muridnya bernama Ibnu Abi Wada’ah yang mana kondisinya termasuk orang tidak berpunya. Bahkan maharnya ketika menikah hanya uang dua atau tiga dirham.

Sedangkan, jauh sebelumnya putri Said bin Musayyib ini hendak dipinang Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang bangsawan dan kaya raya itu.

Namun, ulama besar itu lebih nyaman menikahkan putrinya dengan muridnya yang alim itu: Ibnu Abi Wada’ah. Kisah pernikahan pemuda miskin namun berilmu tinggi itu bisa dibaca di sini.

Oleh Mahmud Budi Setiawan, Lc, alumnus Univ. Al Azhar Mesir

Foto: pixabay

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *