Perempuan Menawarkan diri untuk dinikahi Pria Baik
Perempuan Menawarkan diri untuk dinikahi Pria Baik | Urusan mencari jodoh pada umumnya, dalam kaitannya dengan budaya Indonesia, seringkali yang lebih aktif untuk mencari dan memilih calonnya adalah laki-laki.
Kalau ada peristiwa seperti lamaran atau khitbah, yang menginisiasi dan mendahului datang kerumah adalah pihak laki-laki. Sedangkan perempuan, lebih banyak dalam posisi pasif.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana dalam pandangan Islam jika ada perempuan atau wanita yang pro aktif memilih pasangannya, apakah itu dibenarkan?
(Baca Juga: Usaha Wanita untuk Mendapatkan Jodoh)
Dalam lembaran emas sejarah Nabi Muhammad SAW, ada beberapa peristiwa yang menggambarkan adanya wanita yang pro aktif dalam mencari jodoh yang terbaik baginya dan itu bukanlah tercela.
Ketika Nabi Muhammad berusia 25 tahun, sejarah mencatat beliau bekerjasama dengan Khadijah –seorang janda kaya raya– untuk meniagakan barang dagangannya.
Khadijah selaku owner perniagaan sukses, tertarik bekerjasama dengan Muhammad karena namanya terkenal di seantero Mekkah. Dia dikenal sebagai pemuda yang amanah dan jujur. Lebih dari itu, ketika berbisnis mendapat keuntungan yang berlimpah.
Hal tu terbukti bahwa saat Muhammad SAW –yang waktu itu berusia 25 tahun—menjalankan bisnis Khadijah, beliau mendapat keuntungan yang sangat banyak. Keuntungan berlipat tidak seperti biasanya. Sebagai pemilik bisnis tentu Khadijah merasa sangat senang, dan dalam waktu yang sama mulai kagum dan tertarik kepada Muhammad SAW.
Kemudian, terbesitlah keinginan Khadijah untuk menjadikan Muhammad SAW sebagai pasangan hidup. Namun, ia juga bertanya-tanya dalam hati, apakah pemuda yang rupawan dan berkepribadian menawan itu mau menjadi suaminya.
(Baca Juga: Jangan Diam Saja, Begini Caranya Menjemput Jodoh)
Suatu hari ketika Khadijah berbincang dengan sahabatnya yang bernama Nafisah binti Muniyah, tersingkaplah rahasia tersembunyi Khadijah yang ingin menjadikan Muhammad sebagai imam dalam biduk rumah tangganya.
Awalnya Khadijah didera kebimbangan, namun Nafisah sebagai sahabat, meyakinkannya bahwa itu adalah urusan mudah. Apalagi, Khadijah adalah wanita terpandang. Kualitas bibit, bebet dan bobotnya juga tak diragukan di kalangan Qurays. Ditambah lagi dengan kekayaan dan kejelitaannya. Siapapun akan susah menolak tawarannya. Dan memang, sudah banyak yang menawarinya nikah. Hanya saja, ia sudah jatuh hati kepada pemuda: Muhammad SAW.
Nafisah sebagai sahabat bergerak cepat. Selepas berbincang dengan Khadijah, ia bertemu dengan Muhammad SAW dengan menyodorkan beberapa pertanyaan: “Muhammad, mengapa kamu sampai saat ini belum menikah?”
“Aku belum punya biaya untuk menikah,” jawab Muhammad SAW. Sembari tersenyum, Nafisah melanjutkan pertanyaan, “Kalau kamu dicukupi lalu diajak memasuki pintu kekayaan, kehormatan dan kecukupan, apakah kamu mau?” Maksudnya, sebuah tawaran serius ke jenjang pernikahan.
Muhammad SAW pun penasaran, “Siapa yang kamu maksud.” Nafisah pun lekas menjawab, “Khadijah binti Khuwailid.” Dalam Sirah Ibnu Hisyam disebutkan bahwa saat itu Muhammad SAW menjawab, “Jika ia mau, aku terima.”
Kemudian Muhammad memberitahukan masalah ini kepada paman-pamannya untuk meniti ke jenjang yang lebih serius dengan melamarnya. Atas takdir Allah, keduanya kemudian menikah dan pada waktu itu –dalam catatan sejarah—mas kawin Muhammad SAW adalah 20 anak unta.
Pernikahan ini langgeng. Dari Khadijahlah keturunan Nabi Muhammad lestari. Dari rahimnya lahirlah anak saleh salehah: Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fathimah. Dan selama dengannya, beliau tidak pernah menikah dengan wanita lain hingga meninggal dunia pada tahun 10 kenabian.
Suatu gambaran menarik dari wanita yang pro aktif dalam mencari pasangan terbaiknya, dan pada waktu yang sama tetap menjaga etika dan keluhuran budi. Gayung pun bersambut. Usaha Khadijah mendapatkan jodoh terbaiknya tercapai. Mahligai rumah tangganya harmonis hingga ia meninggal dunia.
Hal lain yang menunjukkan bahwa proaktifnya wanita dalam mencari pasangan bukanlah aib adalah apa yang disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya. Dalam Kitab Nikah, beliau menulis bab khusus berjudul: “Bab tentang Wanita yang Menawarkan dirinya kepada Laki-laki Shalih.”
Kisah ini didengar dari jalur Tsabit Al Bunani. Ia berkisah pernah berada di tempat Anas, sedang ia memiliki anak wanita. Anas berkata: “Ada seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW lalu menghibahkan dirinya kepada beliau.
Wanita itu berkata: “Wahai Rasulullah, adakah Anda berhasrat padaku?” Lalu anak wanita Anas pun berkomentar: “Alangkah sedikitnya rasa malunya.” Anas berkata: “Wanita itu lebih baik daripada kamu, sebab ia suka pada Nabi SAW, hingga ia menghibahkan dirinya pada beliau.”
Meskipun pada riwayat selanjutnya, wanita itu akhirnya menikah dengan sahabat Nabi, karena memang Nabi pada waktu itu tidak berhasrat menikahinya, tapi dari kisah itu ada nilai penting yang perlu dicatat sebagaimana yang telah dicatat oleh Imam Bukhari bahwa menawarkan diri untuk dinikahi orang shalih bukanlah aib dan dibenarkan dalam agama Isalm.
Dengan demikian, jika ada wanita yang hendak menikah, dan secara proaktif mencari pasangan terbaiknya, maka hal itu masih masuk dalam ranah kewajaran. Artinya, tidak bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karena itu, baik wanita yang pasif ataupun yang aktif dalam mencari jodohnya sama-sama dibenarkan dan diperbolehkan. Masing-masing bisa mengukur sesuai dengan keadaanya mana kiranya yang paling pas untuk menggapai jodohnya.
Penulis: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono
Foto: Pixabay