Kisah Julaibib Mengejar Jodoh sampai Akhirat

cinta berujung syahid

Secara teori, sudah sering terdengar hadits Nabi –riwayat Muslim dan Ibnu Majah ini– bahwa Allah tidak melihat kepada rupa (bentuk) dan harta, tapi yang diperhatikan-Nya adalah hati dan amal nyata. Dalam nash lain, yang jadi standar kemuliaan adalah takwa, bukan jasad atau rupa. Hanya saja, pada saat di lapangan, seringkali hal ini menjadi sekadar teori.
Hadits ini digunakan untuk pihak lain yang bukan dirinya, sebagai suatu nasihat. Sementara itu, ketika menghadapi posisi yang sama, belum tentu bisa menerapkan nilai ideal dari hadits tersebut untuk diri sendiri atau keluarga dekatnya. Sama halnya, orang yang mengajak orang lain menerapkan hadits mencari jodoh yang penting agamanya, hanya saja diam-diam ketika untuk diri sendiri, agama menjadi yang terbelakang.

(Baca Juga: Mencari Istri Sesuai Syariat)
Bagi para pengejar jodoh, menurut hemat penulis sejak awal harus jujur dengan diri sendiri. Tiap orang pada awalnya, punya standar dan penilain sendiri mengenai jodoh yang diinginkannya. Hanya saja, ketika sejak awal menjadikan agama sebagai titik tolak atau keberangkatannya, maka dia harus berdamai dengan nilai yang ditetapkan agama.
Di antara cara untuk berdamai atau adaptasi dengan kriteria yang telah ditetapkan Islam adalah dengan mengetahui terlebih dahulu kapasitas diri. Bahasa obrolan sehari-hari istilahnya “ngaca dulu”. Ini erat kaitannya dengan masalah kufu’ (kesetaraan). Betapa banyak pernikahan yang gagal karena terlampau menganga bentangan sisi kufu’ (kesetaraannya) antara satu sama lain.
Dalam sejarah, tercatat pernikahan fenomenal yang pernah diabadikan Al-Qur`an (QS. Al-Ahzab [33]: 37). Yaitu antara Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti Jahsyin. Dalam catatan sejarah, kalau dipandang dari strata sosial, jelas jauh dari sisi kufu’ (kesetaraannya). Zaid dari kalangan orang biasa, sedangkan Zainab dari kalangan bangsawan. Sisi lain, dari segi rupa, Zaid tidak sekufu dengan Zainab yang berparas cantik.
Walau sejak awal keduanya sudah berusaha memegang sisi ideal berupa nilai takwa dan agama, hanya saja, ketimpangan masalah kufu’ ini sedikit banyak juga berpengaruh pada biduk rumah tangga mereka. Benar saja, kian hari frekuensi hubungan antara keduanya semakin tidak sambung dan tidak menemukan titik temu. Pada akhirnya, berujung pada perceraian. Pernikahan ini hanya berlangsung satu tahun. Zaid kemudian menemukan tambatan hati yang sesuai dengan dirinya. Sedangkan Zainab, menikah dengan Rasulullah saw.
Sekali lagi, ini bukan berarti menafikan nilai agung kriteria yang disampaikan oleh sabda Nabi, tapi ingin mengingatkan kembali agar berusaha meniliai diri dengan jujur sebelum mengejar jodoh, sehingga ini akan membantu dirinya mendapat jodoh yang tepat dan terbaik yang menjembatani keinginan yang terlampau ideal dengan kenyataan yang ada pada dirinya.
Dalam sejarah sahabat Nabi Muhammad saw., ada seorang dari kalangan Anshar bernama Julaibib ra. Secara fisik, jauh dari kriteria ideal kebanyakan orang pada masa itu. Tak berparas tampan, tak hartawan dan bukan dari golongan bangsawan. Meski demikian, akhlaknya luhur, perangainya baik, perilakunya santun dan imannya tangguh. Terlepas dari kondisi ini, Julaibib ra. –sebagai laki-laki normal—punya keinginan untuk menikah sebagaimana orang-orang pada umumnya.
Melihat kondisi fisik dirinya sendiri, pernah dia terkesan minder. Saat Rasulullah menawarkannya untuk menikah, ia merespon, “Jika begitu, engkau mendapatiku sebagai orang yang rugi!” Maksudnya, mana ada yang mau menikahkan putrinya dengan orang seperti dirinya. Namun, Rasulullah saw. membesarkan hatinya, “Akan tetapi, engkau bukanlah orang yang rugi di sisi Allah.” (R. Abu Ya’la)
Mendapat penguatan seperti ini, Julaibib terhindar dari rasa minder, dan semakin mantap dengan standar kemuliaan sejati adalah takwa, bukan rupa. Ia dengan setia berjuang mendampingi perjuangan bersama Rasulullah, sembari tetap berusaha memantaskan diri menjempu jodohnya. Menariknya, Rasul pun tak tinggal diam.
Dalam riwayat Abu Barzah Al-Aslami dikisahkan bahwa suatu hari Nabi Muhammad saw. bertanya pada kaum Anshar mengenai mereka yang hendak menikahkan putrinya, sebab beliau akan melamarnya untuk seseorang Mendapat pertanyaan dari manusia agung seperti beliau, tentu mereka antusias untuk menyambutnya.
Sayangnya, ketika mereka tahu bahwa yang ditawarkan untuk menikah dengan putri mereka oleh Rasulullah adalah Julaibib, maka keadaan serasa kelam. Bahkan sang ibu dari putri yang hendak dilamar oleh Rasulullah untuk Julaibib berkata, “Demi Allah, tidak. Aku tidak akan menikahkan Julaibib dengannya!”
Gayung pun bersambut. Ketika ditawarkan pada sang putri, ia berkata, “Siapa yang melamarku kepada kalian?” Orang tuanya menjawab, “Rasulullah saw.” Lantas sang putri merespon, “Apakah kalian menolak tawaran Rasulullah saw?” Akhirnya, sang putri mantap ke jenjang lebih serius. Ia mau menyempurnakan separuh agamanya dengan Julaibib.
Dalam kondisi demikian, Rasulullah saw. –berdasar keterangan Ishaq bin abdillah– mendoakan kebaikan untuk perempuan yang mau dinikahi Julaibib itu. “Ya Allah, curahkanlah kebaikan yang banya kepadanya, dan janganlah menyusahkan hidupnya.” (Baca: Mahmud Al-Mashri, Aṣhāb ar-Rasūl, Jilid II).

(Baca Juga: Bolekah Mencintai Karena Fisik)
Kemudian, keduanya pun dinikahkan oleh Rasulnya. Pada momentum cukup genting dalam nuansa persiapan berjihad di medan tempur. Julaibib tidak sempat merasakan nikmatnya bulan madu, sebab ia ikut serta dalam panggilan jihad. Dan rupanya, pasca pertempuran, Julaibib telah ditemukan gugur syahid. Atas kesyahidannya ini Rasulullah memberi testimoni, “ Orang ini dariku, dan aku darinya.” Suatu keaksian yang mengagumkan untuk Julaibib ra. di akhir hayatnya.
Setelah gugur, lalu bagaimana nasib istri yang kemudian jadi janda kembang tadi? Menurut keterangan Tsabit, “Tak ada seorang wanita di tengah-tengah kaum Anshar yang lebih banyak rezekinya melebihinya dan yang infaknya lebih banyak darinya.” Luar biasa. Julaibib tidak sempat merasakan kenikmatan dibersamai jodoh ketika di dunia, sehingga dengan kesyahidannya, akan terus mengejar jodohnya di akhirat berupa bidadari. Sementara sang istri, ia mendapat kemulian mendapat doa keberkahan dari Rasulullah sehingga rezekinya banyak dan memiliki banyak kesempatan untuk berinfak. Yang tak kalah penting, ia juga masih punya waktu untuk membangun mahligai rumah tangga baru bersama orang yang dicintainya.

 

Penulis: Mahmud Budi Setiawan, Lc, Kontributor Ngaji Jodoh

Editor: Oki Ariyono

Foto: Pixabay

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *